Wednesday, December 17, 2008

sajak yang indah.....

Indahnya malam pertama kitaSatu hal sebagai bahan renungan Kita... Tuk merenungkan indahnya malam pertamaTapi bukan malam penuh kenikmatan duniawi semataBukan malam pertama masuk ke peraduan Adam Dan HawaJustru malam pertama perkawinan kita dengan Sang MautSebuah malam yang meninggalkan isak tangis sanak saudaraHari itu...
mempelai sangat dimanjakanMandipun...harus dimandikanSeluruh badan Kita terbuka....Tak ada sehelai benangpun menutupinya. .Tak ada sedikitpun rasa malu...Seluruh badan digosok dan dibersihkanKotoran dari lubang hidung dan anus dikeluarkanBahkan lubang-lubang itupun ditutupi kapas putih...Itulah sosok Kita.... Itulah jasad Kita waktu ituSetelah dimandikan..,Kitapun kan dipakaikan gaun cantik berwarna putihKain itu ...jarang orang memakainya..Karena mereka sangat terkenal bernama KafanWewangian ditaburkan kebaju Kita...Bagian kepala..,badan. .., dan kaki diikatkanTataplah.... tataplah. ..itulah wajah KitaKeranda pelaminan... langsung disiapkanPengantin bersanding sendirian... Mempelai diarak keliling kampung yang dihadiri tetanggaMenuju istana keabadian sebagai simbol asal usulKita diiringi langkah gontai seluruh keluargaSerta rasa haru para handai taulanGamelan syahdu bersyairkan adzan dan kalimah DzikirAkad nikahnya bacaan talkin....Berwalikan liang lahat..Saksi-saksinya nisan-nisan.. yang tlah tiba duluan Siraman air mawar.. pengantar akhir kerinduan Dan akhirnya.... tiba masa pengantin..Menunggu dan ditinggal sendirian,Tuk mempertanggungjawab kan seluruh langkah kehidupanMalam pertama yang indah atau meresahkan..Ditemani rayap-rayap dan cacing tanahDi kamar bertilamkan tanah..Dan ketika 7 langkah tlah pergi....Sang Malaikat lalu bertanya.Kita tak tahu apakah akan memperoleh Nikmat Kubur...Ataukah Kita kan memperoleh Siksa Kubur.....Kita tak tahu...Dan tak seorangpun yang tahu....

- sajak ni aku paste dari sahabat aku yg berambut panjang dulu -

2 comments:

  1. Assalamualaikum...Pasti ramai yang bertanya, apakah pengisian budaya Islam? Jika hal-hal ghaflah bukan muatannya? Kata mereka lagi, baiklah kami menerima estetika makna untuk produk seni dalam Islam haruslah kembali kepada tauhid.




    Apakah pengisiannya? Ilmu.

    Tugas menghantar ilmu dalam karya persuratan serta kesenian seluruhnya mengakibatkan budayawan dan seniman Islami perlu sentiasa mendalami dan menuntut ilmu supaya karyanya tidak menjadi sia-sia dan sekadar hanya bercerita.

    Seseorang seniman atau mungkin juga karyawan filem yang berhasrat untuk mencari ilmu hendaklah pertama-tamanya menjalani proses mensucikan jiwa; serta menanamkan rasa takwa (atau takut kepada Allah) dalam jiwanya. Untuk menuntut ilmu, seniman hendaklah membebaskan dirinya dari sebarang niat yang keji dan bermotifkan keduniaan. Hal ini memerlukan budayawan perlu sering melihat dan menilai diri samada ilmu yang diperolehinya adalah untuk tujuan keduniaan atau sebaliknya.

    Taqwa ciri khusus seorang alim

    Budayawan juga sentiasa mengingatkan dirinya sendiri bahawa taqwa tadi atau takut kepada Allah adalah satu ciri khusus seorang alim (orang yang mempunyai ilmu) dan sesiapa yang tidak mempunyai sebarang rasa takut kepada Allah dengan sendirinya berada di luar barisan orang yang mempunyai ilmu, meski berapa banyak sekalipun dia telah menghafal kitab atau betapa mengkagumkan pun ucapannya ketika berhujah.

    Pedoman untuk setiap yang menuntut ilmu khususnya buat seniman karya persuratan ialah setiap jejak langkah mereka dalam menuntut ilmu itu hendaklah sentiasa merenung, memikir serta menghayati dengan mendalam apakah yang sebenarnya menjadi tujuan utama di sebalik ilmu yang dipelajari dan ditekuni.

    Jika misalnya tujuan menuntut ilmu itu hanyalah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, atau untuk bertanding dengan kawan atau kumpulan, atau jika memang bertujuan untuk meraih anugerah, ijazah dan kedudukan sosial maka tujuan ini adalah tujuan yang berasaskan duniawi.

    Sekiranya ilmu yang dicari itu adalah dengan niat untuk menulis buku mahupun kertas kerja supaya dipuji sebagai seniman berilmu semata-mata tanpa ada langsung mengharapkan keredhaan Allah dan berbakti kepada makhluk-Nya maka budayawan tadi telah mensia-siakan tujuannya untuk menjadi seniman yang berilmu.

    Ilmu yang benar ialah ilmu yang seharusnya memimpin manusia menjadi lebih bertakwa, ilmu itu juga akan mendorong si pemiliknya melakukan amalan dengan ikhlas selain menjadikan diri mencintai dan lebih takut kepada Allah dengan bertambahnya ilmu tersebut. Ilmu yang tidak menjadikan seseorang melakukan amalan yang baik bukanlah ilmu yang hak.

    Seniman harus menyedari Ilmu yang terhad pada kuliah, syarahan, ceramah dan tidak menampung aplikasi praktikal untuk makhluk Allah adalah ilmu yang berada di tahap paling rendah dan pasti pudar dengan berlalunya detik masa.

    Budayawan perlu memerhati tingkah laku

    Supaya budayawan kita berada di jalan yang benar ketika menuntut ilmu, mereka hendaklah sentiasa memerhatikan tingkah lakunya sendiri. Seniman misalnya, harus bertanya adakah ilmu yang diperolehi menjadikan diri lebih rendah hati dan lebih bersabar?

    Atau adakah ilmu itu kelak menjadikannya lebih sombong, angkuh dan rajin berbalah? Adakah ilmu itu menjadikan diri lebih sulit menerima kebenaran dan mengakui kejahilan dalam kalangan manusia? Adakah pula menjadi manusia berilmu yang memesongkan diri serta menjadikan rasa cemburu dan nafsu emosi sebagai Tuhan.

    Hari ini budayawan kita perlu difahamkan yang egoisme pada karya (katakanlah pengarah filem yang beria-ia mempertahankan kesesatan karyanya) bakal punah dan terhapus dengan ilmu yang hak. Dan petunjuk atau tanda yang terdapat dalam ilmu yang hak adalah; tidak terdapat sama sekali egoisme, keangkuhan, mencintai diri sendiri dan kesombongan.

    Saat proses menelusuri jalan ilmu ini seniman hendaklah berserah kepada Ilahi, menghormati guru, tidak pula malu untuk mendapatkan ilmu daripada yang lebih muda. Seniman juga perlu bermuhasabah dengan apa yang telah pelajari. Doa kepada Allah dengan memohon rahmat-Nya, dan mengharapkan diilhami dengan idea-idea yang baik, supaya Tuhan melindungi diri dari menggunakan ilmu untuk mendapatkan kepentingan dunia dan bermotifkan diri sendiri sahaja.

    Budayawan harus menyemat dalam benak mereka yang Imam Ali berpesan: "Seorang yang keluar untuk mendapatkan ilmu adalah seperti seorang yang berjuang di jalan Allah" [lihat Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 1, pada halaman 179.]

    Budayawan harus juga memahami realiti ilmu yang mana Nabi Muhammad (saw) bersabda: "Ilmu tidak (diperolehi) melalui kuatnya belajar. Bahkan, itu adalah cahaya yang Tuhan pancarkan ke dalam hati sesiapa yang Dia hendak berikan petunjuk." [Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 67, ms 140]

    Seniman Islam perlu kuasai ilmu

    Budayawan atau seniman Islami tidak dapat tidak, perlu berusaha untuk menguasai semua cabang ilmu, tidak kira apa juga jenisnya. Ilmu dapat dibahagikan kepada dua kategori yang luas:

    (1) Ilmu pengetahuan akhirat, yang bermatlamat untuk mencapai kedudukan tinggi di sisi Allah, berbakti kepada makhluk Allah, dan mendapatkan ganjaran di akhirat.

    (2) Terdapat pula llmu pengetahuan dunia, yang bermatlamat untuk mengejar kebendaan, kekayaan, kedudukan sosial, dan kepuasan egoistik selain bertujuan untuk kepentingan diri. Dari itu, niat disebalik mendapatkan ilmu itulah yang menentukan tujuannya samada untuk keduniaan atau akhirat.

    Budayawan atau lebih khusus seniman yang bakal berkarya harus mengingat bahawa ilmu yang hak akan memimpinnya melakukan amalan terpuji dan membawanya hampir ke hadrat Ilahi. Jiwa seniman yang dikuasai oleh kecintaan diri dan condong kepada maksiat akan menerima ilham berperibadi syaitan, akan hanya membuatnya bertambah jahil (seperti menjadi jahil terhadap kejahilan diri) dan terdapat pula penutup yang boleh sahaja membuatnya buta pada realiti tujuan penciptaan Ilahi, sifat-sifat Tuhan dan kehidupan akhirat.

    Selain itu apa juga ilmu yang diperolehi akan membawanya ke matlamat dunia, mengukuhkan kepentingan diri, berkelakuan keji dan jika insan tersebut seorang seniman atau karyawan, hasil seninya juga akan diwarnai oleh unsur-unsur jelek tersebut hingga dia merosakkan pula orang lain.

    Imam Ali (as) pernah berkata: "Wahai penuntut ilmu, ilmu mempunyai banyak kemuliaan. (Jika kamu bayangkannya sebagai manusia maka) kepalanya adalah rendah diri, matanya adalah bebas dari iri hati, telinganya adalah kefahaman, lidahnya adalah kebenaran, mindanya adalah penyelidikan, hatinya adalah niat yang baik, inteleknya adalah ilmu (ma�rifah) mengenai benda dan perkara, tangannya adalah belaian kasih sayang, kakinya adalah menziarahi yang berilmu, keazamannya adalah kejujuran, kebijaksanaannya adalah ketaqwaan, tempat tinggalnya adalah keselamatan, kemudinya adalah kesihatan, tunggangannya adalah ketaatan, senjatanya adalah kelembutan berbicara, pedangnya adalah berpuas hati (ridha), tunduknya adalah kesabaran, tenteranya adalah perbincangan dengan yang berilmu, hartanya adalah pekerti yang mulia, simpanannya adalah menahan diri dari maksiat, kelengkapannya untuk perjalanan adalah kesucian, air minumnya adalah lemah lembut, petunjuknya adalah petunjuk Ilahi, dan sahabatnya adalah mencintai yang terpilih." [Al-Kulayni, al-Kafi, kitab fadl al-�ilm, bab al-nawadir, hadith # 3]

    Budayawan tentera juga perlu menyedari tujuan mencari ilmu itu harus benar-benar jelas, Imam Ali (as) berkata: "Jangan mencari ilmu untuk empat tujuan: (1) Mengagungkan diri di hadapan manusia berilmu (2) Berhujah dengan orang yang jahil (3) Mununjuk-nunjuk di dalam perhimpunan manusia (4) Menarik perhatian manusia untuk mendapatkan jawatan atau nama untuk berkuasa." [Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 2, ms 31]

    Memasjidkan semua lapangan seni

    Seniman pada saya wajib memantapkan ilmu yang ada dalam dirinya kerana melibatkan diri dalam bidang penulisan atau perfileman, malah pementasan adalah suatu cabaran berilmu, menyampaikan ilmu dan pendek kata apa sahaja persoalannya ialah bergulat dengan ilmu.

    Dalam keadaan masjid hari ini tidak lagi menarik minat generasi baru, kita harus memasjidkan filem, memasjidkan karya sastera, dan memasjidkan semua lapangan seni supaya anak muda yang memang menggilai hiburan-hiburan tadi terdidik dan menjadi generasi berilmu dari pembacaan karya kesusasteraan atau menjadi penonton yang pandai setelah menonton sesebuah filem.

    Supaya mereka tidak pulang bengkak mata hanya kerana menangis emosi atau senak perut lucu tertawa dan kesan itu tidak melekat dalam diri kerana ia semata-mata meraikan nafsu paling rendah manusia.

    Karya persuratan Melayu-Islam sejak lama dahulu telah menjadi pusat dan paksi ilmu malah menjadi sekolah buat orang-orang Melayu, selain menjadi benteng peribadi, akhlak dan akidah umat Melayu. Insya-Allah siri lain mengenai seni ini akan terus mengupas pelbagai persoalan melibatkan peribadi seniman, karyanya dan sikap khalayak juga. -

    MAKA, MASJID ADALAH TEMPAT SENI BAGI ORANG YANG BERILMU

    ReplyDelete
  2. Assalamuaikum WBT...Salah satu bahagian yang paling menggamamkan pada doa Abu Hamzah al-Tsumali termuat dalam buku doa Mafatih al-Jinan ialah; Ya Allah, aku tak malu kepada-Mu dalam sendirian, tidak juga ketika ramai. Ataukah ini dikeranakan sedikitnya rasa maluku kepada-Mu, sehingga Engkau menyiksaku?



    Bahagian ini ialah bahagian yang paling langsung menyentuh hal budaya dan seni tanpa kita sedari.

    Imam Muhammad bin Ali al-Baqir dalam Usul al Kafi bab 'Malu' hadis keempat pernah menyuarakan: Rasa malu dan iman selalu bersama-sama dalam satu masa; jika salah satunya hilang, maka yang satunya akan mengikutinya pula.

    Apakah malu? Malu adalah perasaan yang terdapat pada manusia, yang mengganggunya ketika dia melakukan atau menerima perbuatan apa pun yang dianggapnya terburuk dan terpuji. Dengan wujudnya perasaan fitrah ini, seseorang itu dapat mencegah diri dari melakukan perbuatan buruk dan maksiat.

    Aspek yang menjadi teras kepada budaya dan seni Melayu-Islam ialah malu. Hal malu ini tercermin paling jelas menerusi seni busana. Pengganas seni budaya di luar sana telah melancarkan perang terhadap tatacara kita dengan memilih bahagian paling sensitif dalam budaya dan seni kita iaitu meledakkan rasa tidak malu pada tata cara berpakaian.

    Seni busana

    Saya tidak dapat memikirkan aspek seni paling dekat secara fizik mahupun psikologis dengan diri kita melainkan seni busana.

    Hal ini turut diakui Titus Burckhardt dalam The Art of Islam:

    Tidak ada seni yang memiliki kesan lebih besar terhadap jiwa manusia dibandingkan seni busana, kerana seseorang secara naluriah mengidentifikasikan dirinya dengan busana yang ia pakai.

    Maka jika Barat dengan bantuan pengganas-pengganas seninya yang bertebaran ini mahu menghancurkan seni busana kita, mereka hanya perlu menyerang rasa malu. Apabila manusia menanggalkan rasa malu dari tubuh dengan sendirinya iman juga akan ditanggalkan.

    Budaya malu memang tiada pada busana yang dikenakan oleh Barat. Burckhardt malah menuliskan:

    Busana Barat mengajarkan manusia supaya berpaling dari kehidupan yang seluruhnya dikuasai oleh nilai-nilai kontemplatif yang menuju secara mutlak ke arah akhirat.

    Busana tradisional Islam memang berbeza-beza menurut wilayah dan rantau, tetapi persamaannya jelas, iaitu: ayat-ayat Tuhan. Ini kerana tubuh seorang manusia yang mengaku Islam merupakan ayat-ayat Allah, justeru apabila seorang muslim baik lelaki atau wanita memilih untuk menutup tubuhnya, dia memilih untuk menjadikan anggota-anggota tubuhnya dari mata orang kebanyakan seperti emas. Ditutup dan dirahsiakan. Bukan mendedahkannya sewenang-wenang.

    Hal ini mungkin kelihatan simplistik buat sesetengah insan yang memang sudah dipengaruhi oleh nafsu dan memang sudah dicemari jiwa mereka dengan bom perang budaya. Tetapi jika kita menilik sejarah, hal ini bukanlah suatu yang boleh diambil ringan. Jangan kita melupakan Kamal Attaturk mahupun Mao Tse Dong yang menceraikan secara total masa lalunya untuk membentuk masa baru yang diingini iaitu dengan mengubah tata busana masyarakatnya dan menuntut supaya kepercayaan silam mereka dirombak sama sekali.

    Ini dilakukan kerana seperti kata saya tadi, busana adalah aspek seni yang melekat pada diri kita secara fizik mahupun psikologi.

    Dengan menghilangkan budaya malu pada tata cara berpakaian, kita melihat perlahan-lahan manusia juga kehilangan iman dan kepercayaan terhadap keesaan Tuhan. Tidak hairanlah ada hadis menyebutkan, "Barang siapa meniru sesuatu kaum, ia termasuk dalam kaum tersebut."

    Kecelakaan dan malapetaka ini membawa manusia Islam kepada satu hal yang lebih malang iaitu melupakan hakikat diri mereka sebagai khalifah Allah.

    Budaya malu vs budaya ganas

    Kehilangan budaya malu ini membawa satu budaya yang lain iaitu budaya cabul dalam berpakaian, budaya cabul pada diri sendiri dan akhirnya membawa kepada budaya ganas yang tidak berakhlak.

    Budaya ini berkembang dalam semua lapangan seni. Ia masuk berkembang dalam seni filem, masuk dalam seni sastera, masuk dalam seni catan dan masuk dalam apa juga seni. Kita berasa terkejut dengan adengan seorang lelaki yang menampakkan punggung dalam Gubra, lebih terkejut menonton adegan kemban dalam Sepet, atau dialog lucah dengan adegan cabul suami isteri yang tidak relevan untuk perkembangan cerita dalam Rabun kerana semua ini menunjukkan kehilangan budaya malu.

    Gubra, Sepet dan Rabun hanyalah beberapa contoh dari contoh yang banyak.

    Inilah yang dibawa oleh filem-filem yang ada hari ini, berlambak di pawagam, hatta iklan tidak sampai lima minit yang termuat dalam kaca televisyen telah kehilangan budaya malu. Masakan kita tidak malu dengan iklan untuk membesarkan payu dara, tidak malukah kita dengan iklan seorang gadis menyental ketiaknya dengan deodoran yang boleh memutihkan bahagian sulit itu, atau juga iklan seorang gadis semakin segar kerana menggunakan tuala wanita yang sesuai lalu sempat mengirai kain skirtnya kepada pemuda yang kebetulan ada di sisi.

    Budaya cabul telah mengatasi budaya malu. Budaya cabul yang jelek ini dipertahankan malah dengan dakwaan inilah budaya Melayu. Inilah hujah simplistik pengganas seni ini untuk mewajarkan adegan kemban dalam filem-filem bikinan mereka.

    Kita sama sekali tidak menolak dalam setiap zaman, era dan masa ada kesalahan, maksiat, jenayah dan kelalaian. Manusia tetap manusia. Tetap melakukan kesalahan. Tetapi apa yang mengejutkan ialah menjadikan kesalahan itu sebagai kelaziman umum. Kita diminta mengakui kesalahan, maksiat, perubahan fitrah itu sebagai sesuatu yang tidak apa, biasa dan menerimanya secara naluriah.

    Budaya ganas yang bertentangan dengan budaya malu juga menjadi semakin parah, malah menurut kajian CAP, yang termuat dalam buku kecil Reflections on Malaysian Society, tulisan S.M Mohamed Idris (hasil kajian CAP) menjelaskan:

    * 13 program yang diminati anak-anak mengandungi 736 adengan ganas dalam tempoh 8 � jam tayangan. Keganasan itu memuatkan 66 pembunuhan, 91 kecederaan parah, 94 penembakan, 106 kali menunjukkan senjata api, 147 kali keganasan oral (carut), 92 kali keganasan secara fizikal dan 140 kali keganasan berbentuk letupan bom dan sebagainya.

    * Sebahagian besar ibu bapa tidak mengawal apa yang ditonton oleh anak-anak dan dua pertiga dari mereka menjadikan rancangan televisyen sebagai cara untuk melekakan anak-anak.

    * 68 peratus ibu bapa melaporkan anak-anak mereka meniru super hero mereka, dan memilih barang mainan seperti senapang. Selain itu anak-anak mereka juga menyukai permainan video yang melibatkan perang.

    * 12 dari 50 kanak-kanak yang ditanya, apakah yang harus mereka lakukan terhadap penjahat, anak-anak ini membalas, mereka akan 'menembaknya hingga mati'. Yang lain memilih untuk 'memasukkan mereka dalam kotak', 'belasah hingga mati', 'tikam penjahat dengan pisau belati', 'gantung mereka hingga mati' atau 'masukkan ke dalam sangkar'.

    Homo ludens dan filem berkhasiat?

    Filem-filem dan karya sastera yang dikerjakan oleh pengganas budaya ini membawa satu (lagi) ajaran yang menakutkan dan meruntuhkan peradaban murni iaitu pentakhtaan homo ludens (nafsu manusia yang paling rendah).

    Harus ditekankan di sini, dakwaan-dakwaan yang kita lakukan terhadap Barat dan serangan mereka; tuduhan yang kita lakukan terhadap segelintir penggerak seni filem bukanlah bermakna kita membebankan seratus peratus dekadensi moral masyarakat ke atas filem dan lapangan seni yang lain.

    Kita tidak mengatakan semua filem bejat, kita tidak menuduh semua artis bobrok. Filem malah dapat sahaja berfungsi dengan baik dalam pembentukan kualiti manusia. Akan tetapi yang kita bicarakan hari ini, di ruangan ini tentulah mengenai filem yang hanya menghantar gambar dengan pesan sia-sia dan meneruskan khayalan kosong sambil meraikan nafsu rendah manusia iaitu homo ludens.

    Kriteria filem yang meraikan nafsu rendah tersebut tentulah sebuah produk yang gambar dan dialognya ghaflah (lihat artikel sebelum ini), membangkitkan erotisme tidak bersebab sambil mencemuh budaya lama untuk menggantikan budaya baru yang dianggap ulung dan lebih moden.

    Kita meraikan diversiti filem yang menanamkan semangat keagamaan yang baik dan luhur dalam masyarakat seperti The Message dan Lion of the Desert (Mustafa Akkad), Cut Nyak Dhien arahan Eros Jarot, juga al-Kautsar bikinan Chairul Umam. Malah kita sedia menerima The Last Tempation of Christ sekalipun. Tetapi kita harus berhati-hati dengan filem dan hasil seni lain yang tidak memberi apa-apa khasiat untuk pembangunan peradaban kita.

    Barat menghasilkan produk kebudayaannya (khusus seni filem) atas tiga sebab:

    1. Bersangkutan kemajuan mekanikal dalam bidang peralatan dan teknologi

    2. Produk kebudayaan sebagai barang dagangan atau komoditi yang dicipta untuk untuk menjana keuntungan sebanyak-banyak, dengan cara menjual sensasi, seks, hantu dan apa sahaja aspek yang meraikan homo ludens

    3. Kerja-kerja seni dilihat sebagai bahan propaganda untuk mengibarkan bendera liberalisasi, kemodenan, dan agenda penjajahan budaya Barat

    Adalah tidak munasabah untuk kita membikin filem dengan tiga sebab yang sama. Juga tidak munasabah untuk kita sekadar bikin filem untuk kepuasan peribadi, justeru tentulah penghasilan seni, termasuk seni filem harus difikirkan semula.

    Kita sukar untuk menyaingi Barat dalam kemajuan mekanikal mereka, apatah lagi teknologi digital berkembang biak dari mereka. Kita tidak harus terikut-ikut dengan Barat untuk menjana keuntungan semata-mata demi meraikan nafsu paling keji dan rendah dalam diri kita iaitu homo ludens. Berapa banyak sangat keuntungan yang kita perolehi jika kita menjadikan materi sebagai kiblat?

    Jadi, apa yang kita mampu lakukan ialah menghasilkan produk seni yang menjadi bahan propaganda untuk mengibarkan bendera budaya dan agama kita sebagai benteng berdepan dengan peluru penjajahan budaya Barat yang merosakkan.

    Filem transmisi budaya beragama

    Filem dan karya seni bukan sahaja satu alat artistik yang menampilkan estetika bentuk sahaja, tetapi juga adalah komunikasi massa yang berkesan dan membolehkan ia menjadi medium menghantar agenda atau transmisi budaya yang cemar mahupun yang murni.

    Sebagai penganut agama Islam, kita harus mengingat yang manusia adalah makhluk budaya:

    Dan telah Kami jadikan manusia sebagai khalifah (pencipta kebudayaan) di muka bumi. (Al-Baqarah: 30)

    Transendensi budaya kita pula hangat terbentuk dari tiga asas utama:

    Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Ali-Imran 104)

    Pokok kebudayaan kita pula amat rapat dengan nilai agama seperti yang terlihat pada ayat 112 surah Ali Imran:

    Mereka akan ditimpa kehinaan, kecuali berpegang teguh pada ajaran agama Allah (hablumminallah) dan nilai-nilai kemanusiaan (hablumminannas).

    Dengan itu, budaya beragama kita menentang dan menolak sensasi dan budaya yang sia-sia:

    Dan dunia bukanlah tempat untuk bermain-main dan senda gurau belaka (Al-An'nam ayat 32)

    Budaya beragama kita adalah budaya yang mementingkan tanggungjawab kerohanian:

    Dia telah mencipta kamu di atas bumi dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya. (Surah Hud ayat 61)

    Hal ini tercermin juga pada ayat ini:

    Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama Allah, selaras dengan fitrah kemanusiaanmu. (Ar-Rum, 30)

    Transmisi budaya beragama yang dituntut untuk dipancarkan dalam produk seni kita termasuklah seni gambar dan filem ialah wacana peneguhan iman dan pemantapan ilmu pengetahuan:

    Bacalah nama Tuhanmu Yang Menciptakan, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam.

    Teroris budaya: Benarkah kita membenci peradaban Barat?

    Timbullah tanda tanya, oleh kerana kita menekankan persolan jati diri Melayu-Islam, apakah kita membenci peradaban Barat? Bagaimana sikap kita terhadap peradaban Barat?

    Mantan Presiden Republik Islam Iran, Mohamad Khatami dalam Kumpulan Eseinya: Islam, Liberty and Development menekankan pengaruh Barat dalam kehidupan seharian kita yang tak mungkin lagi kita berpaling.

    Seperti kata Khatami kita tak mungkin menolak lagi pengaruh Barat yang datang menimpa kita, akan tetapi itu tidak bermakna kita mengalah terus, sebaliknya kita memahami kedudukan budaya dan peradaban Barat yang harmoni dengan masyarakat mereka tetapi tidak semestinya harmoni dan munasabah untuk kita terima semuanya.

    Kita harus memahami tamadun Barat berdasarkan sistem nilai dan norma-norma hidup mereka. Kita mesti memahami apakah nilai dan norma mereka, dan kemudian mengetahui pula apakah nilai dan norma hidup kita sebelum menerima budaya yang mereka asakkan kepada kita. Kita hanya menerima bahagian budaya yang sesuai dengan sistem nilai dan norma hidup kita seraya menolak keras budaya yang jelas bertentangan dengan nilai dan norma hidup kita.

    Adalah tidak munasabah misalnya kita menggadai bahasa dan agama kita semata-mata untuk menjadi Barat dan moden. Barat memberikan satu nilai dan norma kehidupan serba bebas dan merdeka. Bebas dan merdeka untuk melakukan apa sahaja. Tujuan kehidupan dan peradaban Barat ialah untuk memenuhi homo ludens dan budaya malu yang mengikat dileraikan.

    Hari ini, dunia kita ditawarkan satu sistem nilai yang menganjurkan untuk manusia melakukan apa sahaja, makan apa sahaja, pakai apa sahaja, dan berkarya serta berfikir apa sahaja kemudian melakukan apa sahaja.

    Nilai dan norma ini tentulah berbeza dengan nilai dan norma masyarakat Timur serta kita yang menganut agama Islam. Tujuan kehidupan kita bukanlah bebas seperti binatang melainkan pengabdian kepada Allah. Sesiapa pun tidak terlepas dari hakikat ini, baik sesiapa pun; apatah lagi, kerana mereka beragama Islam.

    Sebagai orang Islam, dunia hanyalah tempat rehat menempah bekalan dan tempat berteduh membanyakkan amal.

    Saya ingin mengingatkan mereka akan kematian kerana salah satu bahagian yang sering diabaikan oleh manusia moden ialah mereka akan mati, dan mati itu pasti maka kita tidak boleh berhujah dengan Tuhan kita terlupa hakikat ini. Malah mati itu sendiri satu dunia baru untuk membawa kita ke dunia lainnya.

    Namun mereka terpesona oleh estetika bentuk. Golongan ini terkagum dan terkujat dengan gambar yang cantik, lakonan yang berkesan dan sinematografi yang membekas, wah betapa sia-sianya pesona mereka pada sesuatu yang sangat permukaan!

    Dan teroris budaya dengan silap mata, kekeliruan yang sengaja mereka ciptakan untuk mendapat sokongan dari generasi baru dengan senang menuduh kita sebagai golongan yang jumud dan anti Barat tanpa sebab.

    Adalah satu keanehan buat kita kerana golongan ini tidak mahu berfikir apakah bentuk tamadun yang sesuai dengan diri dan apa yang pula bertentangan dengannya:

    Katakanlah, 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Surah az Zumar ayat 9)

    Wajib Tahayyu'i

    Saya kira salah satu kecelakaan paling besar buat umat ini ialah kerana kita punya budayawan yang lemah dan tidak peduli. Dan jika penyakit kelemahan dan ketidakpedulian ini menjangkiti pemimpin maka ia lebih dahsyat lagi. Untuk berdepan dengan teroris budaya ini, sudah sampai wajib tahayyu'i iaitu kewajipan untuk bersiap sedia dalam menuntut ilmu.

    Sekiranya teroris budaya ini menggunakan medium seni sastera untuk meledakkan budaya Melayu-Islam kita sambil dengan angkuh menyeru pakatan untuk menghancurkan kita, maka mulai sekarang kita harus bersiap sedia juga dengan strategi dan bentuk peluru yang mereka gunakan.

    Sudah tiba masanya kita mensiapkan satu barisan, pakar seni budaya; dalam bidang penulisan, dalam seni filem dan dalam lapangan seni apa juga untuk berdepan dan menjadi perisai untuk budaya Melayu-Islam ini.

    Kita mesti bersegera dan berhenti bercakap banyak kerana dalam keadaan kita masih berbahas sama ada boleh atau tidak membaca Yasin di malam Jumaat dan sibuk melabel orang ini pengikut ajaran sesat atau tidak, atau sama ada bahaya sesuatu mazhab itu menggugat atau tidak, kita semakin kehilangan generasi baru yang telah berpindah ke blok musuh.

    Malang, generasi baru ini menyangkakan mereka berada dalam blok kebenaran. Kebenaran untuk orang Islam semata-mata ialah tauhid.

    Saudara-saudaraku yang prihatin sekalian, prinsip akhlak yang sedia ada untuk kita telah digunakan oleh musuh. Prinsip yang saya maksudkan ialah 'manusia tawanan perbuatan kebajikan'.

    Kita harus mengingat Rasulullah s.a.w. berpesan: Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.

    Mengambil kira hadis ini kita boleh sahaja menggunakan ia sebagai satu rukun akhlak. Kelompok manusia yang datang menghidupkan satu bangsa yang telah mati atau dalam kebodohan dan kemiskinan akan segera mendapat keyakinan dan menjadi pemilik hati mereka. Kerana itu kita melihat banyak bangsa yang tidak pintar, miskin melarat dan tiada semangat telah direbut oleh kelompok manusia Barat yang datang dengan kekuasaan dan penaklukan fizik serta budaya. Lihatlah bangsa-bangsa pagan di Amerika Latin yang terhegeh-hegeh menjadi orang Barat tetapi hanya diketawakan.

    Mujur bangsa kita adalah bangsa yang besar, bertamadun, penuh peradaban dan berilmu. Pun jika kita sendiri tidak bersiap sedia dan membekalkan diri kita dengan pendinding dari segi pembinaan pelapis, intelektual dan budayawan maka kita akan menjadi bangsa yang ditakluk, dijajah dan 'manusia yang ditawan oleh kebajikan'.

    Saya menyeru lebih ramai karyawan filem untuk masuk ke dalam blok Islam, saya menaruh harapan besar penggiat-penggiat filem seperti Mansur Puteh, Adman Salleh, Anuar Nor Arai, Mahadi J Murat (sekadar menyebut beberapa nama) dan mendoakan penggiat muda (saya berteleku di hadapan Baitullah) seperti Amir Muhammad menjadikan estetika makna iaitu tauhid sebagai satu asas pembentukan kerja seni mereka.

    Satu asas yang menurut C.S Pierre tidak akan dapat dipertikaikan kerana keimanan itu satu hal yang tunggal dan tidak beragam-ragam.

    Kita tidak boleh lagi bergantung kepada budaya tidak malu dan meraikan nikmat homo ludens lagi. Ini bukan budaya kita, bukan cara kita malah ia merupakan satu tatacara yang amat keji, purba dan tidak moden.

    Kerana budaya dan seni yang seharusnya kita gerakkan secara gotong royong ialah budaya meraikan tauhid, kebenaran, nilai-nilai murni dan paling penting sekali, saya, tuan, saudara-saudara dan kita semua, akan menemui kematian.

    Dan tuan-tuan, kematian itu sesuatu yang pasti...

    ReplyDelete